Sabtu, 12 Mei 2012

keakraban kelas A 2010  FATERNA UNRAM
Keakraan kelas yg dilakukan oleh kelas A di kerandangan tiga yang bertepatan pada  hari minggu tanggal 06 Mei 2012 yang dirangkaikan dengan acara pelantikan ketua tingkat dan jajarannya...
ny foto2nya....










Minggu, 15 April 2012

SAHABAT

SAHABAT
Sahabat merupakan sosok yang memberikan hidup seseorang lebih berarti yang bisa mengerti, mennyayangi, memberikan senyum tawa, yang selalu ada saat duka, gembira ,memberi suport, sebagai pelangi hidup yang memberi warna warni pada kehidupan .
Seperti yang banyak orang bilang pacar bagaikan emas sahabat bagaikan air. Emas bisa dicari apa bila hilang tapi air kita selalu butuhkan saat kita haus untuk menghilangkan rasa dahaga .
So, jadilah orang yang terbaik bagi sahabatmu yang akan selalu dikenang.....








Sabtu, 18 Februari 2012

REPRENSI KAMPUS


PERKAWINAN PADA KUDA 
Kuda merupakan hewan yang bersifat nomadik dan bersemangat tinggi. Dalam keadaan liar efisiensi reproduksi kuda dapat mencapai 90 % atau lebih tetapi dalam kondisi domestic dengan adanya campur tangan manusia tingkat efisiensi reproduksinya sangat menurun. Hal itu disebabkan oleh kurangnya kesempatan latihan fisik, penyakit serta manajemen pemeliharaan yang belum baik.
Seekor kuda betina dara akan mencapai pubertas pada umur 12 sampai 15 bulan, tetapi lebih baik dikawinkan setelah mencapai umur 2 tahun karena kuda betina yang dikawinkan pada umur yang muda tingkat kebuntingannya rendah. Siklus estrus seekor kuda betina rata-rata 21 hari dengan kisaran waktu antara 10 sampai 37 hari. Periode birahinya rata-rata 4 sampai 6 hari. Tanda-tanda birahi kuda meliputi gelisah, ingin ditemani kuda lain, urinasi berulang kali serta pembengkakan dan pergerakan vulva.
Saat kawin ovulasi terjadi pada saat-saat akhir periode estrus. Telur yang dihasilkan dapat hidup selama 6 jam sedangkan sperma pejantan dapat bertahan hidup sekitar 30 jam dalam saluran reproduksi betina. Rata-rata masa kebuntingan kuda 335 hari dengan kisaran 315 sampai 350 hari.
Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan dengan melakukan palpasi rectal sekitar 60 hari setelah kawin. Tanda-tanda awal kelahiran berupa membesarnya ambing, otot-otot vulva berelaksasi, ligamentum pelvis berelaksasi, menjauhi kuda lain (menyendiri ), gelisah.

Sistem Reproduksi kuda
Perilaku kawin kuda sangat berbeda dari hewan lain. Kuda bertanggung jawab atas segalah sesuatu dalam reproduksi, termasuk periode kehamilan, laktasi, kelahiran dan siklus estrus. Kuda memiliki dua ovarium dari 7-8 cm panjangnya. Seorang peternak kuda harus mengetahui siklus reproduksi ternak kudanya.
Kuda betina dan kuda jantan pasangan satu sama lain pada waktu tertentu dan kesempatan. Perilaku perkawinan kuda menunjukkan bahwa mereka tidak biasanya pasangan dalam lingkungan sosial. Kuda-kuda membutuhkan banyak ruang terbuka untuk pasangan.
Perkembangbiakan kuda sangat berbeda dari perkawinan mereka. Persis seperti anjing, ketika kuda yang dibesarkan, maka pasangan dipilih dengan sangat hati-hati. Selain itu, pasangan ini dipilih dengan melihat kualitas dan sifat bahwa kuda telah.
Sifat-sifat kuda dalam kombinasi dari sifat-sifat kuda betina itu adalah apa yang membuat pasangan ideal untuk terjadi. Dalam lingkungan alam, kuda bisa kawin dengan mudah. Dalam penangkaran, mungkin diperlukan waktu beberapa hari untuk satu pasang kuda untuk kawin. Karena lingkungan yang terkendali, menjadi lebih sulit bagi kuda-kuda untuk kawin. Namun, salah satu ciri klasik dari hewan kuda adalah bahwa ketika diperbolehkan untuk kawin pada mereka sendiri, mereka tidak salib berkembang biak. Ada beberapa jenis kuda dan berbagai macam warna di dalamnya. Hanya kuda pasangan dalam keturunan mereka. Ini juga bisa menjadi salah satu alasan untuk ragu dalam pemeliharaan dengan breeds lainnya. Kuda adalah binatang sulit untuk mengelola.
Gambar Kuda Sedang Melakukan Proses Perkawinan
Manajemen Reproduksi pada Kuda
Keberhasilan reproduksi pada kuda merupakan hal yang patut diperhatikan oleh pemilik kuda, tanpa adanya reproduksi, mustahil produksi ternak kuda dapat diharapkan mencapai maksimal. Oleh karena itu, menejemen infertilitas pada ternak kuda merupakan bagian yang amat penting dalam suatu usaha peternakan kuda. Agar dapat diperoleh efisiensi reproduksi yang baik, sehingga produksi ternak kuda dapat dicapai setinggi-tingginya, diperlukan menejemen infertilitas kuda yang baik.
Dengan produktivitas kuda yang tinggi, keuntungan diharapkan dapat diperoleh oleh peternak dalam jumlah yang memadai. Walaupun negara-negara yang sudah maju teknik peternakannya, kadang-kadang kegagalan menejemen pengelolaan reproduksi masih juga dialami oleh peternak, sehingga mereka sering menderita kerugian yang cukup besar. Kerugian ini adalah sebagai akibat langsung dari kesalahan dalam pengelolaan reproduksi, karena kesalahan pengelolaan reproduksi dapat mendorong terjadinya penurunan kesuburan pada ternak kuda yang bersangkutan.
Dalam pengelolaan reproduksi ternak kuda yang baik, sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang besar, banyak faktor produksi yang harus mendapat perhatian.
Faktor menejemen pengelolaan itu meliputi :
a. Pemberian pakan yang berkualitas baik dan cukup.
b. Lingkungan serasi yang mendukung perkembangan kuda.
c. Tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular kelamin.
d. Tidak menderita kelainan anatomi alat kelamin yang bersifat menurun,
 baik sifat yang berasal dari induknya maupun berasal dari pejantannya.
e. Tidak menderita gangguan keseimbangan hormon khususnya hormone
reproduksi,sehingga cukup kadarnya di dalam darah.
f. Sanitasi kandang yang baik.
Tujuan dari menejemen infertilitas yang baik pada ternak kuda, adalah untuk memperoleh produksi ternak kuda yang sebanyak-banyaknya sehingga diperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya bagi pemilik ternak kuda. Produksi yang secara langsung dapat dinikmati peternak adalah benyaknya kuda yang lahir dan kualitas kuda yang baik dan berkualitas. Demikian pula biaya pemeliharaan, biaya pengobatan gangguan reproduksi, dan biaya operasional IB dapat ditekan serendah-rendahnya.
Oleh karena itu, perlu kiranya dibuat suatu menejemen kesehatan reproduksi pada suatu peternakan kuda. Dengan harapan, program kesehatan reproduksi yang efektif dapat menghasilkan efisiensi reproduksi yang lebih baik sehingga lebih meningkatkan pendapatan peternak yang berlipat daripada sebelumnya.
Suatu kenyataan yang memprihatinkan adalah, suatu kasus kemajiran sering terjadi sebagai akibat kesalahan manusia, apakah itu karena peternak pemiliknya mencoba mengadakan pertolongan tanpa pengetahuan yang memadai atau oleh kecerobohan petugas peternakan dalam melaksanakan program kesehatan reproduksi pada ternak induk, karena kerja yang kurang profesional. Dalam menanggulangi suatu kasus gangguan reproduksi pada ternak khususnya pada sapi perah, usaha yang perlu digalakkan adalah melaksanakan program kesehatan reproduksi
Dalam program kesehatan reproduksi, kegiatan yang dilakukan yaitu antara lain :
1. Meningkatkan keterampilan dan kesadaran beternak bagi para peternak antara lain adalah dengan cara memberikan penyuluhan yang intensif tentang teknik peternakan pada kelompok-kelompok peternak, memberi latihan dan pendidikan secara bertahap tentang pencegahan atau teknik penanggulangan gangguan reproduksi secara dini, yang diberikan secara tidak terlalu mendalam, Meningkatkan kesadaran peternak dengan memberi contoh di lapangan, bahwa daya reproduksi yang baik tanpa ada kasus, kemajiran dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.
Selanjutnya akan meningkatkan produktivitas ternak mereka, berarti memberi keuntungan dan pendapatan yang lebih tinggi. Semua ini tergantung pada kemampuan peternak akan hasil latihan dan pendidikan yang telah diperoleh seperti siklus birahi, gejala birahi, deteksi birahi, ransum pakan, cara pertolongan kelahiran, praktek beternak yang baik, program vaksinasi, penanganan anakan kuda, pengelolaan kuda dara, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan secara tetap tiap bulan pada ternak kuda betina oleh petugas kesehatan reproduksi. Pemeriksaan itu meliputi pemeriksaan melalui eksplorasi rektal, pengobatan pada tiap induk yang menderita gangguan reproduksi, dan lain-lain. Hasilnya dicatat, misalnya adanya siklus birahi yang abnormal, keluarnya kotoran dari alat kelamin, kuda induk yang bunting dari hasil pemeriksaan, induk kuda yang sudah tiga kali di kawinkan atau di IB tidak menjadi bunting, dan lain-lain. Selain data reproduksi yang dicatat, sekurang-kurangnya dua kali setahun “anakan kuda” atau kuda dara harus diukur kecepatan pertumbuhan badannya, tinggi badan, berat badan, dibandingkan dengan nilai baku yang normal untuk masing-masing pengukuran. Disamping itu dicatat pula data tentang prestasi reproduksi, seperti jarak antar melahirkan, waktu antara melahirkan sampai bunting kembali, jumlah perkawinan untuk satu kebuntingan, angka kebuntingan, prosentase induk yang birahi setelah 60 hari melahirkan, dan rata-rata umur kuda dara yang bunting.
3. Penilaian terhadap prestasi reproduksi induk. Dalam kegiatan ini petugas mengadakan evaluasi tentang data reproduksi yang telah diperoleh, dan dipakai untuk menentukan baik tidaknya efisiensi reproduksi pada kelompok ternak tersebut. Berdasar evaluasi data yang diperoleh, ditentukan perubahan-perubahan pengelolaan reproduksi yang mungkin terjadi pada ternak tersebut.
4. Pelaksanaan perubahan pengelolaan reproduksi menuju keuntungan yang lebih baik. Dalam pengelolaan yang baru pada ternak, perbaikan didasarkan kepada adanya persoalan yang dihadapi kelompok ternak, yang terdiri dari:
a. Ransum pakan induk yang sedang laktasi atau menyusui anak.
Ransum yang diberikan pada induk kuda dipakai selain untuk proses reproduksi seperti untuk memelihara kebuntingan juga untuk laktasi dan pertumbuhan badan. Oleh karena itu, induk yang sedang bunting dan laktasi akan membutuhkan ransum yang lebih banyak daripada ransum untuk induk yang sedang laktasi, sedangkan induk yang sedang laktasi akan membutuhkan ransum yang lebih banyak daripada kuda betina yang sedang tumbuh. Ransum yang kekurangan energi (karbohidrat) dapat menimbulkan penurunan kesuburan dan gangguan reproduksi. Kekurangan pakan dalam jangka waktu lama pada kuda dara dapat menghambat timbulnya dewasa kelamin, sedangkan pada kuda induk dapat menyebabkan siklus birahi yang tidak normal dan anestrus karena terjadinya atropi ovarium.
Sama halnya dengan kekurangan pakan, pemberian pakan yang berlebihan dalam waktu yang lama sehingga menimbulkan kegemukan (obesitas), juga dapat mengakibatkan penurunan kesuburan pada induk kuda tersebut sampai kepada kemajiran. Bagi induk yang sedang bereproduksi dibutuhkan ransum yang berimbang agar kesuburannya tetap terjaga baik. Ransum yang berimbang artinya mengandung energi, protein, vitamin, dan mineral yang cukup dan keseimbangan yang baik. Dibutuhkan kadar protein 17%-18% dalam ransum untuk induk kuda yang sedang laktasi. Sumber energi dapat dicukupi dari hijauan makanan ternak yang memadai. “anakan kuda” dengan ransum hijauan makanan ternak yang cukup dan 1 kg biji-bijian dapat mencapai pubertas pada umur 15 bulan. Pada ternak kuda, Vitamin-vitamin yang dibutuhkan untuk membantu perkembangan dan siklus reproduksi sangat penting agar terhindar dari infertilitas.
Vitamin-vitamin ini dapat ditambahkan melalui pakan, misalnya vitamin A,D,E, K, B dan lain-lain. Mineral sangat dibutuhkan oleh tubuh seperti Calcium (Ca) dan Posfor (P). Kadar Ca dibutuhkan sedikit lebih banyak dari P di dalam ransum. Jika sebaliknya yaitu kadar P lebih banyak dari Ca, dapat mengganggu proses reproduksi seperti metritis atau retensi plasenta. Kebutuhan mineral jarang (trace element) seperti cobalt, selenium, indium, ferrum, cuper, mangan, sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk proses reproduksi. Bagi suatu daerah yang tanahnya kekurangan mineral jarang, rumput yang dihasilkan juga langka mineral, sehingga induk hewan harus disediakan mineral jarang ini dalam ransum Pada akhir-akhir ini pemberian mineral jarang, diberikan dalam bentuk balok mineral yang dapat dijilat oleh induk kuda jika kekurangan dalam tubuhnya.
b. Kondisi lingkungan yang kurang serasi.
Kuda import yang ada di Indonesia, misalnya, lingkungannya disesuaikan dengan asalnya, harus hidup di udara yang dingin sehingga proses reproduksi dapat berjalan normal. Sebaliknya, kuda yang ada di Indonesia pengaruh suhu lingkungan tidak terlalu mempengaruhi daya reproduksi. Di daerah tropis dimana suhu udaranya panas sepanjang tahun, produktivitas dan daya reproduksi kuda sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan khususnya suhu udara. Hasil penelitian Thatcher (1986) pada kuda memberikan informasi tentang pengaruh suhu udara yang tinggi terhadap prestasi reproduksi.
Thatcher melaporkan bahwa sesungguhnya induk kuda yang sedang laktasi, sangat sensitif terhadap pengaruh suhu udara yang panas. Selama musim panas angka kebuntingan akan menurun pada induk kuda yang dipelihara di luar kandang. Udara yang terlalu panas setelah inseminasi buatan dapat menghambat proses pembuahan sel telur, atau bila pembuahan dapat terjadi, dapat disusul dengan kematian embrio dini. Keadaan ini ada hubungannya dengan suhu uterus yang meningkat karena udara di luar yang panas sehingga akhirnya dapat mempengaruhi sel telur atau embrio dan menurunkan angka pembuahan.
Suhu udara yang panas juga dapat meningkatkan jumlah kasus birahi tenang atau birahi yang tidak dapat dideteksi pada induk kuda. Penelitian dengan mengukur hormon reproduksi, menunjukkan bahwa induk yang sedang laktasi dihadapkan pada suhu udara yang panas dapat mengganggu siklus birahi. Suhu yang panas juga dapat menyebabkan penurunan kadar hormon reproduksi seperti FSH dan LH, selain itu juga dapat menyebabkan penurunan volume dari yang mengalir ke alat reproduksi, sehingga menyebabkan perubahan lingkungan uterus yang lebih panas dan menambah kemungkinan kematian embrio.
Menurut peneliti ini, suhu yang panas dapat menurunkan best lahir anakan kuda” dan best plasentanya disamping memperpanjang involusi uteri dan menurunkan aktivitas ovarium dari induk pasca melahirkan. Usaha menanggulangi suhu yang tinggi khususnya pada peternakan kuda yang berada di dataran rendah dapat dilakukan dengan menanam pohon pelindung di sekitar kandang dan di lapangan penggembalaan. Harus dihindari adanya sinar matahari langsung pada tubuh induk kuda. Kandang agar dibuat sedemikian rupa, sehingga adanya ventilasi menyebabkan pergerakan angin dapat terjadi dengan leluasa dalam kandang, tetapi tidak langsung mengenai tubuh kuda. Dinding kandang tidak mengarah ke timur dan barat, tetapi mengarah ke utara dan selatan. Atap kandang dibuat dari bahan yang tidak menyerap panas.
Bila atap terbuat dari bahan metal, pada permukaan bawah atap sebaiknya dicat warna hitam agar panas sinar matahari dapat diserap dengan baik. Induk kuda lebih sering disiram dengan air, khususnya bila udara terlalu panas, untuk menurunkan suhu tubuh. Induk kuda yang ditempatkan di kandang yang didinginkan suhunya, dapat meningkatkan produksi susu dan daya reproduksi dapat lebih baik. Penanggulangan suhu udara yang tinggi ini juga berlaku untuk ternak-ternak yang lain.
c. Deteksi birahi kurang baik.
Seperti telah diketahui, tanda-tanda birahi pada ternak khususnya pada induk kuda adalah adanya kemerahan, kebengkakan dan alat kelamin luar yang hangat, disertai lendir yang kental dan bersih yang menggantung keluar dari alat kelamin, dan diikuti dengan tingkah laku homoseks dan suara berisik pada betina tersebut. Namun kadang-kadang tanda-tanda birahi ini tidak dapat dilihat dengan jelas, bahkan tidak tampak sama sekali. Bila kuda induk selalu ada dalam kandang maka dapat digolongkan sebagai kuda induk yang menderita birahi tenang. Birahi tenang ditandai adanya ovulasi pada ovarium, tanpa diikuti oleh gejala birahi secara klinis yang jelas.
Deteksi birahi yang hanya dilakukan didalam kandang sering kali hasilnya nihil, apalagi bila hanya dilakukan sekali dalam sehari. Oleh karena itu, orang sering mengatakan hal yang salah, seperti birahi tenang dikatakan disebabkan oleh deteksi birahi yang tidak baik. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, deteksi birahi dapat dilakukan tiga kali sehari pada waktu pagi, tengah hari, dan menjelang malam.
Di Eropa pangamatan birahi dengan memantau kuda dengan kamera yang diarahkan ke kuda (dikandang) untuk menghindari kuda-kuda yang mudah stress. Dengan pengamatan birahi sebanyak tiga kali dalam sehari, seluruh kasus birahi dapat dideteksi secara baik sehingga inseminasi buatan atau pengawinan secara alami dapat dilakukan tepat pada waktunya. Gejala birahi yang lebih mudah dikenal bila induk kuda berada bersama-sama di luar kandang atau di lapangan penggembalaan, yaitu berdiri diam jika dinaiki betina lain atau berusaha menaiki betina lain. Sifat homoseks ini merupakan tanda yang paling baik pada kuda betina sewaktu birahi. Barang kali gejala birahi macam ini tidak dapat dilihat bila induk kuda berada di dalam kandang.
Oleh karena itu, induk sebaiknya dikeluarkan dari kandang bersama dengan induk kuda milik peternak lain agar gejala homoseksualitas atau saling menaiki dapat segera dilihat. Penelitian di Amerika Serikat selama musim dingin mengenai deteksi birahi terhadap 60.000 ekor induk kuda, menghasilkan hal-hal sebagai berikut (Anonimous, 1981): bila kuda betina tidak dikeluarkan sama sekali dari kandang, hasil deteksi birahi hanya mencapai 64%; bila induk kuda dikeluarkan sekali dalam sehari, hasil deteksi birahi mencapai 69,59%, dan bila induk dikeluarkan dua kali sehari, deteksi birahi mencapai 70,4%. Mengeluarkan induk dari kandang kelapangan, walaupun singkat waktunya, sangat berguna bagi kesehatan induk karena selain dapat memperbaiki nafsu makan, juga memperbaiki daya cerna perut, dan dapat membantu penyumbatan ambing pada waktu prows melahirkan. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Kinder dan Zalesky pada tahun 1985 membuktikan bahwa keberadaan kuda pejantan di dalam lingkungan kelompok kuda betina dapat mempengaruhi kegiatan reproduksi pada betina-betina tersebut.
Hubungan antara pejantan dengan betina induk dalam suatu lapangan penggembalaan dapat meningkatkan derajat dari gejala birahi pada betina. Dalam hal ini peranan saraf-saraf mata, pencium, pendengar pada betina sangat besar.
Feromone suatu bahan kimiawi yang dihasilkan oleh pejantan diduga dikeluarkan melalui urine, feses, atau oleh kelenjar keringat, selanjutnya melalui udara dapat diterima oleh saraf pencium hewan betina, mengakibatkan adanya respon perilaku birahi pada kuda betina melalui mekanisme hormonal. Berdasar hasil penelitian ini, Kinder dan Zalesky menganjurkan untuk menempatkan pejantan di tengah-tengah kuda betina di lapangan penggembalaan khususnya kuda betina yang baru melahirkan, agar dapat mendorong timbulnya birahi kembali pada waktu yang lebih cepat. Dianjurkan oleh peneliti ini agar perbandingan pejantan dengan betina 1:20. Khusus untuk induk yang baru melahirkan, dianjurkan agar dipilih induk yang telah lebih dari tiga hari pasca melahirkan.
d. Menentukan waktu yang tepat untuk dikawinkan.
Waktu perkawinan yang tepat bagi hewan betina merupakan faktor penting, karena dapat menghasilkan keuntungan yang besar bagi peternak bila terjadi kebuntingan pada waktu yang tepat. Sebaliknya, waktu perkawinan yang salah cenderung menyebabkan gangguan reproduksi karena dapat menunda kebuntingan. Waktu inseminasi buatan pertama atau pengawinan alami pertama pada kuda dara yang balk pemeliharaannya, dapat dilakukan pada birahi pertama yang muncul pada umur 15-18 bulan, sedang bagi kuda-kuda dara yang kurang baik pemeliharaannya, IB pertamatau pengawinan alami baru dapat dilakukan pada umur 3-4 tahun. Setelah melebihi umur 4 tahun pada kuda dara, perkawinan cenderung menyebabkan penurunan prestasi reproduksi. Kuda betina dara yang belum dikawinkan pada umur 4 tahun, cenderung terjadi siklus birahi yang tidak teratur atau terbentuknya kista ovarium dan gangguan reproduksi yang lain.
Kuda dara yang dapat melahirkan “anakan kuda” pertama pada umur 2 tahun, akan mempunyai masa laktasi dan jangka waktu bereproduksi lebih lama dibanding dengan kuda dara yang melahirkan “anaan kuda ” pertama pada umur 4 tahun atau lebih. Setelah melahirkan, induk akan menunjukkan gejala birahi kembali antara minggu kedua sampai minggu ke sepuluh, walaupun uterus belum mengalami involusi secara normal.
Uterus membutuhkan waktu 3-6 minggu untuk proses involusi yaitu kembalinya uterus kepada keadaan normal setelah melahirkan. Kesuburan induk pada periode 3-6 minggu masih sangat rendah dan kesuburan akan kembali normal setelah 40-60 hari pasca melahirkan, di mana kira-kira 90% dari induk akan menunjukkan gejala birahi yang normal pada periode ini. Pengawinan atau IB yang dilakukan pada 40-60 hari pasca melahirkan dapat menghasilkan angka kebuntingan sampai 80%. Hasil ini akan sama baiknya bila pengawinan atau IB dilakukan pada periode 80-90 hari pasca melahirkan. Ini berarti penundaan waktu IB setelah hari ke 90 pasca melahirkan tidak mempengaruhi angka kebuntingan
e. Pengelolaan terhadap uterus pasca melahirkan.
Walaupun proses kelahiran berjalan secara normal, pencemaran dari berbagai jasad renik pada uterus tetap dapat terjadi. Sanitasi lingkungan khususnya kandang, pada waktu melahirkan, sangat menentukan tingkat pencemaran uterus setelah melahirkan. Dilaporkan oleh Rendell (1986), bahwa 90% dari induk kuda yang melahirkan, bakteri masih dapat ditemukan dalam uterus 10 hari setelah melahirkan. Kejadian infeksi uterus, pasca melahirkan pada kuda cukup tinggi. Ini disebabkan kelahiran kuda umumnya terjadi di kandang, sedang pada kuda yang tidak dikandang, kelahirannya terjadi dipadang penggembalaan yang sanitasinya lebih baik daripada di kandang.
Kasus kelahiran yang tidak normal seperti distokia, retensi plasenta, atau pneumovagina merupakan penyebab infeksi terbesar pada uterus. Demikian pula alat-alat yang dipakai dalam pertolongan kelahiran yang tidak bebas hama, merupakan penyebab yang lain dari infeksi uterus.
Corine bacterium piogenes yang banyak terdapat di alam bebas termasuk di lantai kandang, merupakan bakteri nonspesifik yang paling sering menyebabkan infeksi pada uterus. Bakteri ini akan cepat berkembang dalam rongga uterus diikuti oleh keluarnya kotoran dari alat kelamin induk hewan. Bakteri nonspesifik lain yang dapat berada di dalam uterus adalah streptococcus, stafiloccocus, E.coli dan, pseudomonas aeroginosa. Bakteri-bakteri ini dapat menimbulkan terjadinya peradangan pada uterus bila jumlahnya cukup besar, atau dapat menyebabkan induk menderita kawin berulang artinya, bila induk kuda dikawinkan berulang kali, tidak pernah menjadi bunting walaupun birahinya jelas dan siklus birahinya berjalan secara normal.
Pencegahan terjadinya infeksi uterus yang terbaik adalah dengan menyelenggarakan sanitasi yang tinggi dari kandang, disamping alat-alat yang dipakai untuk pertolongan kelahiran harus dalam keadaan bebas hama (stern).
Infeksi uterus biasanya diobati dengan berbagai antibiotika atau kemoterapeutika, tergantung macamnya jasad renik yang menginfeksi. Namun perlu diingat bahwa pengobatan dengan antibiotika mempunyai resiko bila diikuti oleh resistensi bakteri atau adanya residu pada daging dan air susu. Resiko lainnya adalah gangguan terhadap pertahanan tubuh yang ada secara alami. Oleh karena itu, berbagai kemoterapeutika seperti larutan indium, natrium hipoklorit, atau klorheksadin telah banyak dipakai untuk pengobatan infeksi uterus pada kuda, dalam usaha menghindari residu antibiotika pada air susu penderita terhadap anaknya. Akhir-akhir ini antibiotika berspektrum luas telah banyak dipakai sebagai pengobatan intrauteri.
Hasil pengobatan terhadap infeksi uterus sangat bervariasi, karena banyak faktor yang mempengaruhi, seperti sensitivitas bakteri terhadap obat yang diberikan, dosis obat, lamanya pengobatan, cara pemberian obat, umur induk kuda, status gizi, stres karena keadaan keliling dan faktor pengelolaan. Pemakaian obat secara berturut-turut dalam waktu lama mungkin tidak ekonomis karena dapat mengembangkan jenis bakteri yang tahan terhadap obat tersebut. Pemberian obat untuk infeksi uterus biasa dilakukan dengan intra uterina karena pengobatan secara parenteral membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Kombinasi pengobatan antara intrauteri dan parenteral dapat juga dilakukan terhadap infeksi uterus.



Sistem Pencernaan pada Hewan Memamah Biak


Hewan memamah biak ( Ruminansia ) adalah hewan herbivora murni, contohnya sapi, kerbau, dan kambing. Perhatikan Gambar 6.22. Disebut hewan memamah biak karena memamah atau mengunyah makanannya sebanyak dua fase.Pertama saat makanan tersebut masuk ke mulut. Makanan tersebut tidak dikunyah hingga halus dan terus ditelan. Selang beberapa waktu makanan tersebut dikeluarkan kembali ke mulut untuk dikunyah sampai halus.




Makanan hewan memamah biak berupa rumput atau tumbuhan. Sel tumbuhan tersusun dari bahanselulosa yang sulit dicerna. Oleh karena jenis makanan tersebut, hewan memamah biak mempunyai sistem pencernaan dengan struktur khusus yang berbeda dengan hewan karnivora dan omnivora. Perhatikan Gambar 6.23.



Saluran pencernaan hewan memamah biak


Saluran pencernaan hewan memamah biak terdiri atas organ-organ berikut :

1. Rongga Mulut (Cavum Oris)

Gigi yang terdapat dalam rongga mulut berbeda dengan mamalia lain dalam hal berikut.
a. Gigi seri (insisivus) mempunyai bentuk yang sesuai untuk menjepit makanan berupa tetumbuhan seperti rumput.
b. Gigi taring (caninus) tidak berkembang.
c. Gigi geraham belakang (molare) berbentuk datar dan lebar. Makanan yang direnggut dengan bantuan lidah secara cepat dikunyah dan dicampur dengan air liur dalam mulut, kemudian ditelan masuk ke dalam lambung melalui esofagus.

2. Kerongkongan (Esofagus)

Esofagus merupakan saluran penghubung antara rongga mulut dengan lambung. Di sini tidak terjadi proses pencernaan. Esofagus pada sapi sangat pendek dan lebar, serta lebih mampu membesar (berdilatasi). Esofagus berdinding tipis dan panjangnya bervariasi, diperkirakan sekitar 5 cm.

3. Lambung

Lambung mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara yang akan dikunyah kembali (kedua kali). Selain itu, pada lambung juga terjadi proses pembusukan dan peragian.



Bagian - Bagian Lambung Hewan Memamah Biak


Lambung Ruminansia terdiri atas empat ruangan (perhatikan Gambar 6.24), yaitu:
a. rumen (perut besar/perut urat daging),
b. retikulum (perut jala),
c. omasum (perut buku),
d. abomasum (perut kelenjar/perut masam).

Ukuran ruangan tersebut bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7–8%, dan abomasum 7–8%.

Mula-mula makanan masuk ke dalam rumen. Makanan yang masuk ke lambung ini telah bercampur dengan ludah yang bersifat alkali sehingga memberi suasana basa dengan pH ± 8,5.

Selanjutnya, dalam lambung sapi berlangsung proses pencernaan sebagai berikut.

a. Rumen

Rumen berfungsi sebagai gudang sementara bagi makanan yang ditelan. Setelah rumen cukup terisimakanan, sapi beristirahat. Di dalam rumen terdapat populasi bakteri dan Protozoa. Mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim yang menguraikan polisakarida, misalnya enzim: hidrolase, amilase, oligosakharase, glikosidase, dan enzim selulase yang berfungsi untuk menguraikan selulosa. Selain itu juga terdapat enzim yang menguraikan protein, yaitu enzim proteolitik; dan enzim pencerna lemak.

b. Retikulum

Di dalam retikulum makanan diaduk-aduk kemudian dicampur dengan enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ada, hingga akhirnya menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar (bolus). Pengadukan dilakukan oleh kontraksi otot dinding retikulum. Kemudian, gumpalan makanan tersebut didorong kembali ke mulut untuk dikunyah lebih sempurna (dimamah kedua kali), sambil beristirahat. Setelah itu, gumpalan makanan ditelan lagi masuk ke omasum melewati rumen dan retikulum.

c. Omasum

Di dalam omasum terdapat kelenjar yang memproduksi enzim yang akan bercampur dengan bolus.Makanan dijadikan lebih halus lagi di omasum. Kadar air dari gumpalan makanan dikurangi (terjadi absorpsi air), kemudian gumpalan makanan diteruskan keabomasum.

d. Abomasum

Di dalam abomasum makanan dicernakan lagi dengan bantuan enzim dan asam klorida. Abomasum merupakan perut yang sebenarnya, karena di sini terjadi pencernaan sebenarnya secara kimiawi oleh enzim-enzim pencernaan. Enzim yang dikeluarkan oleh dinding abomasum sama dengan yang terdapat pada lambung mamalia lain. Misalnya, enzim pepsin merombak protein menjadi asam amino.

Asam klorida (HCl) selain mengaktifkan pepsinogen yang dikeluarkan dinding abomasum, juga sebagai desinfektan (zat pembunuh bakteri, karena bakteri akan mati pada pH yang sangat rendah). Namun, bakteri yang mati dapat dicerna menjadi sumber protein bagi hewan memamah biak. Dengan demikian, hewan memamah biak tidak memerlukan asam amino esensial seperti pada manusia. Kemudian, makanan yang telah halus dari ruang abomasum didorong masuk ke usus halus. Di usus halus ini sari-sari makanan diserap dan diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Selanjutnya sisa makanan keluar melalui anus. Perhatikan sistem pencernaan sapi pada Gambar 6.25.



Apabila sapi meminum air, lipatan dinding antara rumen dan retikulum membentuk saluran yang menghubungkan mulut-esofagus-omasum-abomasum. Keadaan yang demikian mengakibatkan air yang diminum dapat langsung masuk ke abomasum.

Pada anak sapi yang masih menyusu induknya, rumen, retikulum, dan omasum masih kecil serta belum berfungsi. Saluran lipatan tertutup oleh gerakan refleks sehingga air susu yang diisap dari puting susu induknya langsung masuk ke abomasum.

Pada kelinci, marmot, dan kuda, fermentasi selulosa terjadi di dalam sekum. Sekum (usus buntu) adalah kantong (bagian usus besar) yang berada di antara pertemuan usus halus dengan usus besar dan umbai cacing. Di dalam sekum banyak bakteri selulolitik. Selain itu, pada hewan-hewan tersebut hanya terjadi pengunyahan satu kali, sehingga feses yang dikeluarkan lebih kasar dan berserat daripada feses sapi (yang mengalami pengunyahan selulosa dua kali.



Media Peternakan, April 2006, hlm. 35-46                                                               Vol. 29 No. 1
ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No:56/DIKTI/Kep/2005
          Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi Peranakan
                          Fries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk
                                         Meningkatkan Produktivitasnya
                                                      (ULASAN)
                                                A.Yani & B.P. Purwanto
                 Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB
                      Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680
                                                a_yanicirebon@yahoo.co.id.
                                        (Diterima 25-08-2005; disetujui 10-03-2006)
                                                      ABSTRACT
               Most of Holstein in Indonesia were imported from European countries which have
     temperate climate (13-25oC). If those Holstein were kept under high temperature and high
     humidity and exposed to direct solar radiation, the cattles would be experienced with heat
     stress, resulted in decreasing appetite, increased water intake, decreased metabolism,
     increased catabolism, increased heat loss through evaporation, decreased hormone
     concentration in blood, increased body temperature, increased respiration and heart rate
     and behavioral changes. To reduce the heat stress can be achieved by environment
     modification, such as type of animal house construction, type of roof material selected for
     animal house and determination of animal housing height. The improvement of
     environmental condition was gained for maintaining the animal heat balance in steady
     state, due to reducing the thermoregulatory responses (i.e heart rate, respiration rate and
     mean body temperature). Controlling the heat stressed animals to lower thermoregulatory
     activities will improve their productivity.
     Key words : Holstein, physiological responses, heat stress, micro-climate, environmental
                         modification
                   PENDAHULUAN                                 yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak
                                                               membuat potensi genetik seekor ternak tidak
        Penampilan produksi ternak dipengaruhi                 dapat ditampilkan secara optimal.
oleh beberapa faktor, antara lain faktor                              Ada empat unsur iklim mikro yang dapat
keturunan (genetic), pakan, pengelolaan,                       mempengaruhi produktivitas ternak secara
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan                     langsung yaitu : suhu, kelembaban udara, radiasi
penyakit serta faktor lingkungan lainnya. Salah                dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur
satu faktor lingkungan yang cukup dominan                      lainnya yaitu evaporasi dan curah hujan
dalam mempengaruhi produktivitas ternak                        mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak
adalah iklim mikro. Iklim mikro di suatu tempat                langsung. Interaksi keempat unsur iklim mikro
                                                                                                                35
                                                                                              Edisi April 2006
YANI & PURWANTO                                                                     Media Peternakan
tersebut dapat menghasilkan suatu indeks        bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman.
dengan pengaruh yang berbeda terhadap ternak.   Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh
      Berdasarkan hasil pendataan, sebagian     (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari
besar sapi-sapi perah yang ada di Indonesia     suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas
adalah sapi bangsa Fries Holland (FH) yang      tubuh ternak dapat terjadi secara sensible
didatangkan dari negara-negara Eropa yang       melalui mekanisme radiasi, konduksi dan
memiliki iklim sedang (temperate) dengan        konveksi. Jalur utama pelepasan panas melalui
kisaran suhu termonetral rendah (13 – 25oC).    mekanisme evaporative heat loss dengan jalan
Berdasarkan kondisi iklim asal tersebut, sapi   melakukan pertukaran panas melalui
perah FH sangat peka terhadap perubahan suhu    permukaan kulit (sweating) atau melalui
tinggi. Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi pertukaran panas di sepanjang saluran
yang memiliki suhu tinggi, maka sapi-sapi       pernapasan (panting) (Purwanto, 1993) dan
tersebut akan mengalami cekaman panas terus     sebagian melalui feses dan urin (McDowell,
menerus yang berakibat pada menurunnya          1972). Unsur iklim mikro yang dapat
produktivitas sapi FH. Cekaman panas yang       mempengaruhi produksi panas dan pelepasan
diterima oleh sapi FH sebenarnya dapat          panas pada sapi FH adalah suhu dan
direduksi oleh angin dengan kecepatan tertentu. kelembaban udara, radiasi matahari dan
Usaha lain yang perlu dilakukan untuk           kecepatan angin.
mereduksi cekaman panas sapi FH adalah
modifikasi lingkungan ternak melalui                    Suhu dan Kelembaban Udara
pemberian naungan, pemilihan bahan atap dan
pengaturan ketinggian kandang. Tulisan ini            Suhu dan kelembaban udara merupakan
berisi ulasan hasil-hasil penelitian mengenai   dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi
“Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Respons          sapi perah, karena dapat menyebabkan
Fisiologis Sapi FH serta Modifikasi Lingkungan  perubahan keseimbangan panas dalam tubuh
sebagai Upaya Mempertahankan Produktivitas      ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi
Sapi FH”.                                       dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay,
                                                1982). McDowell (1974) menyatakan bahwa
                                                untuk kehidupan dan produksinya, ternak
PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP
                                                memerlukan suhu lingkungan yang optimum.
        RESPONS FISIOLOGIS SAPI
                                                Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa
               PERANAKAN FRIES
                                                berkisar 13 – 18oC (McDowell, 1972); 4 – 25oC
                   HOLLAND (FH)
                                                (Yousef, 1985), 5 – 25oC (Jones & Stallings,
      Besarnya penambahan panas yang berasal    1999). Hubungan besaran suhu dan kelembaban
dari radiasi matahari di daerah tropis dapat    udara atau biasa disebut “Temperature Humidity
mencapai empat kali lebih besar dari produksi   Index (THI)” yang dapat mempengaruhi tingkat
panas hasil metabolisme (Thwaites, 1985).       stres sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.
Besarnya penambahan panas ini tergantung              Sapi FH menunjukkan penampilan
pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran    produksi terbaik apabila ditempatkan pada suhu
                                                lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55%.
tubuh seekor ternak, akan mendapatkan
penambahan panas yang lebih tinggi dari ternak  Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan
yang lebih besar ukuran tubuhnya, seperti       melakukan penyesuaian secara fisiologis dan
domba vs sapi.                                  secara tingkah laku (behaviour). Usaha
      Perolehan panas dari luar tubuh (heat     peternakan sapi FH di Indonesia, pada
gain) akan menambah beban panas bagi ternak,    umumnya dilakukan pada daerah yang memiliki
36  Edisi April 2006
Vol. 29 No. 1                                                                            PENGARUH IKLIM MIKRO
        Tabel 1. Indeks suhu dan kelembaban relatif untuk sapi perah
                                               Kelembaban relatif (%)
                  0
                    C   0  5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95          100
                                                                  72 72 73 73 74 74 75       75
                 23,39
                                         72 72 73 73 74 74 75 76 76 77 78 78 79 79
                 26,67                                                                       80
                             72 72 73 74 75 75 76 77 78 78 79 80 81 81 82 83 84 84
                 29,44                                                                      85
                 32,22 72 73 74 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84 85 86 86 87 88 89          90
                 35,00 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94          95
                 37,78 77 78 79 80 82 83 84 85 86 87 88 90 91 92 93 94 95 97 98 99
                 40,56 79 80 82 83 84 86 87 88 89 91 92 93 95 96 97
                                                                               Stres Ringan
                 43,33 81 83 84 86 87 89 90 91 93 94 96 97
                 46,11 84 85 87 88 90 91 93 95 96 97                          Stres Sedang
                 48,89 88 88 89 91 93 94 96 98                                  Stres Berat
        Sumber : Wierama (1990)
ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan           Perubahan denyut jantung dan frekuensi
laut, dengan tujuan untuk penyesuaian                   pernapasan sapi FH dipengaruhi oleh suhu
lingkungan.                                             lingkungan. Denyut jantung sapi FH yang sehat
        Suhu udara dan kelembaban harian di             pada daerah nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah
Indonesia umumnya tinggi, yaitu berkisar antara         60 – 70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 –
24 – 34oC dan kelembaban 60 - 90%. Hal                  30 kali/menit (Ensminger, 1971). Perubahan
tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat               denyut jantung dan fekuensi pernapasan sapi FH
produktivitas sapi FH. Pada suhu dan                    (tiga ekor sapi dara peranakan FH dengan bobot
kelembaban tersebut, proses penguapan dari              rata-rata 195 kg) di Darmaga dapat dilihat pada
tubuh sapi FH akan terhambat sehingga                   Gambar 1 dan 2 dengan kondisi suhu
mengalami cekaman panas. Pengaruh yang                  pengamatan pada Gambar 3 (Prayitno, 1999).
timbul pada sapi FH akibat cekaman panas                        Reaksi sapi FH terhadap perubahan suhu
adalah : 1) penurunan nafsu makan; 2)                   yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut
peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan                jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi
metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4)             untuk mengurangi atau melepaskan panas yang
peningkatan pelepasan panas melalui                     diterima dari luar tubuh ternak. Peningkatan
penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon              denyut jantung merupakan respons dari tubuh
dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh,           ternak untuk menyebarkan panas yang diterima
respirasi dan denyut jantung (McDowell, 1972);          ke dalam organ-organ yang lebih dingin.
dan 7) perubahan tingkah laku (Ingram &                 Pernapasan merupakan respons tubuh ternak
Dauncey, 1985), meningkatnya intensitas                 untuk membuang atau mengganti panas dengan
berteduh sapi (Combs, 1996). Respons fisiologis         udara di sekitarnya. Jika kedua respon tersebut
sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada         tidak berhasil mengurangi tambahan panas dari
Tabel 2.                                                luar tubuh ternak, maka suhu organ tubuh ternak
        Pada malam hari, suhu rektal akan terus         akan meningkat sehingga ternak mengalami
mengalami penurunan, sedangkan pada pagi                cekaman panas (Anderson, 1983). Cekaman
sampai sore suhu rektal mengalami kenaikan.             panas yang terus berlangsung pada ternak akan
                                                                                                                37
                                                                                               Edisi April 2006
YANI & PURWANTO                                                                                                           Media Peternakan
      Tabel 2. Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH
                                                                                                       Suhu lingkungan
       Parameter
                                                                                                   Netral            Cekaman
       Suhu rektal (oC)                                                            1               38,7                40,0
                                                                                   2               38,8                39,8
       Denyut jantung (kali per menit)                                             1               77,0                79,0
                                                                                   2               64,0                67,0
       Pernapasan (kali per menit)                                                                 48,0                87,0
                                                                                                   31,0                75,0
berdampak pada peningkatan konsumsi air                                               tubuh (Shibata, 1996). Hasil simulasi
minum, penurunan produksi susu, peningkatan                                           menunjukkan bahwa penurunan suhu
volume urine, dan penurunan konsumsi pakan                                            lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5oC
(Tabel 3). Cekaman panas dapat direduksi                                              dapat meningkatkan produksi susu sapi FH
dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH melalui                                          sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi
penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan
                                               Frekuensi pernapasan (kali/menit)
                                                                                 Sumber
                                                                                   1
                                                                                   2
                                                                                      45 kg/hari (Berman, 2005).
                                               Waktu pengamatan (Pukul)
           Keterangan:
           Lingkungan kontrol = Pada siang hari tanpa pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan,
           Lingkungan B = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak dikeluarkan,
           Lingkungan C = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan.
      Gambar 1. Pola frekuensi pernafasan pada kondisi lingkungan kontrol (♦), lingkungan B (■) dan
                    lingkungan C (▲)
38 Edisi April 2006
Vol. 29 No. 1                                                                              PENGARUH IKLIM MIKRO
                                          Waktu pengamatan (Pukul)
          Keterangan:
          Lingkungan kontrol = Pada siang hari tanpa pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan,
          Lingkungan B = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak dikeluarkan,
          Lingkungan C = Pada siang hari dengan pengipasan dan pada malam hari ternak tidak dikeluarkan.
         Gambar 2. Pola denyut jantung pada kondisi lingkungan kontrol (♦), lingkungan B (■) dan lingkungan
                    C (▲)
            Gambar 3. Suhu lingkungan pengamatan di dalam (♦) dan di luar (■) kandang
                                                                                                              39
                                                                                             Edisi April 2006
YANI & PURWANTO                                                                           Media Peternakan
  Tabel 3. Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan sapi FH pada suhu berbeda
                                                                            Suhu
           Parameter
                                                                 18oC                  30oC
           Produksi susu (kg/hari)                               18,4                  15,7
           Volume urine                                          11,2                  12,8
           Konsumsi air minum (kg/hari)                          57,9                  74,7
           Konsumsi konsentrat (kg/hari)                           9,7                   9,2
           Konsumsi hay (kg/hari)                                  5,8                   4,5
      Sumber : McDowell (1972)
                  Radiasi Matahari                    warna terang serta memiliki tekstur kulit yang
                                                      halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk
       Radiasi adalah pemindahan panas suatu          mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi
benda ke benda lain tanpa bersentuhan. Arus           matahari. Sapi FH memiliki warna kulit hitam
panas radiasi mengalir tanpa bantuan bahan            dan putih, umumnya warna putih lebih dominan
pengantar atau media dan dapat melewati ruang         dari warna hitam atau sebaliknya. Dominannya
hampa udara (Curtis, 1983; Blaxter, 1989).            warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan
Radiasi matahari secara langsung terhadap sapi        pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan
FH mengakibatkan sapi FH tidak nyaman,                lebih kecil (warna putih menyerap 20%
sehingga menimbulkan efek negatif terutama            pancaran radiasi sinar matahari, dan warna
pada siang hari. Usaha yang umum dilakukan            hitam bisa mencapai 98%). Cekaman panas sapi
oleh peternak dalam mengurangi efek negatif           FH akibat radiasi matahari langsung
radiasi langsung ini adalah dengan memberikan         menyebabkan respon fisiologisnya lebih tinggi
naungan.                                              dari sapi FH yang ternaungi (Tabel 4).
       Sapi FH di daerah Darmaga, Bogor, mulai
mencari tempat berteduh pada saat radiasi                             Kecepatan Angin
matahari di atas 450 kkal/m2/jam. Pada kondisi
ini sapi FH sudah mengalami cekaman panas,                  Angin dapat digunakan untuk mereduksi
sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu            cekaman panas pada ternak (Beede and Coolier,
tubuhnya, ternak tersebut mencari naungan.            1986). Penggunaan kipas angin berdiameter 1,2
Cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari         m dan penyemprotan air 18 liter per ekor per
bisa mencapai 77,38% (Rizki, 1996). Kondisi           hari di Amerika dapat menurunkan temperatur
                                                      tubuh sapi FH sebesar 1,7oC dan meningkatkan
ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan
mengalami cekaman panas maksimal dari                 produksi susu sebesar 0,79 kg per hari (Wiersma
radiasi matahari pada pukul 13.00 – 14.00             et al., 1984). Pemberian kecepatan angin
dimana pada waktu tersebut nilai intensitas           tertentu disertai dengan pengabutan melalui
radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/          sprinkler tiap 5 - 15 menit pada daerah panas
jam.                                                  dapat meningkatkan kenyamanan sapi dan
       Kondisi cekaman panas akibat radiasi           mempermudah pemerahan (Chestnut &
matahari terhadap sapi FH juga dipengaruhi            Houston, 2002). Pemberian kecepatan angin
                                                      melalui terowongan angin yang dibuat dalam
oleh warna kulitnya. Yeates (1977) mengatakan
                                                      kandang dapat menurunkan suhu (4,2oC) dan
bahwa ternak dengan bulu yang pendek dengan
40  Edisi April 2006
Vol. 29 No. 1                                                                         PENGARUH IKLIM MIKRO
        Tabel 4. Respon fisiologis sapi FH akibat radiasi matahari di Darmaga Bogor
              Parameter                                           Jemur                 Naungan
              Repirasi (hit/menit)                               147,00                   68,00
              Jantung (hit/menit)                                  91,00                  76,00
              Suhu rektal (oC)                                     40,48                  38,82
              Suhu kulit (oC)                                      39,68                  37,13
              Suhu tubuh (oC)                                      40,37                  38,58
        Sumber : Rizki (1996)
THI (6,0) serta meningkatkan RH (26%) dalam               Pengamatan dilakukan di Laboratorium
kandang (Smith et al., 2005). Daerah Darmaga              Lapangan Ilmu Produksi Ternak Perah IPB pada
Bogor dengan ketinggian 250 m di atas                     Bulan Desember 1994 sampai Bulan Januari
permukaan laut memiliki kecepatan angin yang              1995 dengan suhu minimum dan maksimum
                                                          masing-masing 24,0oC dan 30,5oC, kelembaban
berfluktuasi menurut waktu tergantung kondisi
                                                          udara 61% - 84% dan kecepatan angin 0,0625
iklim mikro dan makro. Rata-rata kecepatan
                                                          – 0,35 m/det. Sapi FH yang digunakan sebanyak
angin harian pada bulan April – Juni tahun 2000
                                                          4 ekor dengan bobot badan 180 – 220 kg.
di Darmaga dapat dilihat pada Gambar 4.
                                                          Hijauan diberikan sebanyak 10 kg/ekor/hari,
        Jika dilihat dari fluktuasi kecepatan angin
                                                          konsentrat diberikan sesuai bobot badannya
pada gambar di atas, kecepatan angin meningkat
                                                          dengan pemberian pakan 2 kali sehari (pukul
seiring dengan meningkatnya suhu udara dan
                                                          08.00 dan 17.00 WIB) dan air minum ad libitum.
radiasi matahari. Sementara di sisi lain tubuh
sapi FH memerlukan kecepatan angin yang
                                                           MODIFIKASI LINGKUNGAN TERNAK
lebih untuk mereduksi cekaman panasnya,
                                                                    UNTUK MENINGKATKAN
sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang
                                                                         PRODUKTIVITAS
hari pada kondisi udara cerah tidak banyak
berpengaruh terhadap penurunan cekaman
                                                                Modifikasi lingkungan merupakan usaha
panas tubuh sapi FH.
                                                          yang dilakukan oleh peternak dalam manajemen
        Penambahan kecepatan angin akan
                                                          ternak sapi FH untuk mengurangi cekaman
membantu sapi FH menurunkan cekaman panas
                                                          panas akibat suhu udara, kelembaban dan radiasi
pada saat malam hari karena pada malam hari
                                                          matahari. Modifikasi lingkungan dapat
metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk
                                                          dilakukan melalui pemberian naungan,
mempertahankan suhu tubuh (Lee & Keala,
                                                          penggunaan air minum dingin, penyemprotan
2005). Penambahan kecepatan angin (1,125 m/
                                                          air ke tubuh ternak, pemberian kecepatan angin
det) dapat mengoptimalkan kerja metabolisme
                                                          tertentu kepada ternak, pemilihan bahan atap
sapi FH sehingga ternak tersebut merasa
                                                          kandang, penentuan ketinggian atap kandang
nyaman. Hadi (1995) menyampaikan hasil
                                                          yang tepat.
pengamatan adanya perubahan suhu rektal, suhu
kulit, suhu tubuh dan frekuensi pernafasan pada
                                                                   Pemberian Air Minum Dingin
sapi FH akibat pemberian kecepatan angin
(1,125 m/det) yang dilakukan pada siang hari
                                                                Konsumsi air minum sapi perah dewasa
(pukul 11.00 – 13.00 WIB) dan malam hari
                                                          pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 – 3,5
(pukul 19.00–21.00 WIB) (Tabel 5).
                                                                                                           41
                                                                                          Edisi April 2006
YANI & PURWANTO
                                                                                                                                                                                                                                       Kecepatan angin (m/det)
                                                                                                    Intensitas lama bernaung (menit) Kecepatan Angin (m/det)
                                                                                                    Intensitas Lama Bernaung (Menit)
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Media Peternakan
                                                                                                                                                                                                                                                               0.9
                                                                                                                                                                                                                                                               0.8
                                                                                                                                                                                                                                                               0.7
                                                                                                                                                                                                                                                               0.6
                                                                                                                                                                                                                                                               0.5
                                                                                                                                                                                                                                                               0.4
                                                                                                                                                                                                                                                               0.3
                                                                                                                                                                                                                                                               0.2
                                                                                                                                                                                                                                                               0.1
                                                                                                                                                                                                                                                                 0
                                                                                                                                                                                                                                                                   9.00~10.00 10.00~11.00 11.00~12.00 12.00~13.00 13.00~14.00
                                                                                                                                                                                                                           14.00~15.00 15.00~16.00
                                                                                                                                                             50
                                                                                                                                                             40
                                                                                                                                                             30
                                                                                                                                                             20 9.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00
                                                                                                                                                             10
                                                                                                                                                              0
                          9.00-10.00 10.00-11.00 11.00~12.00
                                                 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00  15.00-16.00
                          9.00~10.00 10.00~11.00              12.00~13.00 13.00~14.00 14.00~15.00  15.00~16.00
                                                          Waktu Pengamatan
                                                      Waktu pengamatan
      Gambar 4. Rata-rata kecepatan angin harian bulan April – Juni tahun 2000 dan intensitas lama bernaung
                   sapi FH di Darmaga (Suwito, 2000)
      Tabel 5. Rataan suhu rektal (RT), suhu kulit (mTs), suhu tubuh (Tb) dan frekuensi pernafasan
                  (RR) sapi FH akibat pemberian kecepatan angin 1,125 m/det pada siang dan malam hari
                  di Darmaga Bogor
                                                                           Waktu pemberian angin
         Parameter
                                                                     Siang hari                     Malam hari
         Sebelum perlakuan
         RT (oC)                                                   39,05 ± 0,12                    39,07 ± 0,11
         mTs (oC)                                                  35,64 ± 0,66                    35,50 ± 0,43
         Tb (oC)                                                   38,57 ± 0,14                    38,57 ± 0,14
                                                                   40,00 ± 3,34                    40,00 ± 5,36
         RR (kali/menit)
         Dua jam setelah perlakuan
         RT (oC)                                                   38,80 ± 0,12                    38,60 ± 0,10
         mTs (oC)                                                  35,40 ± 1,03                    35,58 ± 0,01
         Tb (oC)                                                   38,32 ± 0,29                    38,18 ± 0,08
                                                                  25,00 ± 11,50                    22,00 ± 0,00
         RR (kali/menit)
      Sumber : Hadi (1995)
42 Edisi April 2006
Vol. 29 No. 1                                                                    PENGARUH IKLIM MIKRO
liter/kilogram konsumsi bahan kering (Tillman       panas tubuh ternak dengan naungan dapat
et al., 1989) dan akan meningkat dalam kondisi      mencapai 30-50% (Roman-Ponce et al., 1977).
cekaman panas. Pada kondisi lingkungan tidak        Cara ternak sapi FH dalam mencari naungan
nyaman dengan suhu lingkungan malam hari            sangat tergantung dari iklim mikro seperti
sekitar 24oC dan siang hari 33,34oC, sapi dara      radiasi matahari, suhu, kelembaban udara dan
mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58 –             kecepatan angin.
12,76% dari bobot badan (Santoso, 1996).                  Pola intensitas lama bernaung sapi FH
Manfaat air minum dingin untuk mengatasi            meningkat dari pagi sampai siang hari (sampai
cekaman panas pada sapi dara FH dapat dilihat       pukul 13.00) kemudian menurun kembali pada
pada Tabel 6.                                       sore harinya. Pola intensitas lama bernaung rata-
        Milam et al. (1986) melaporkan bahwa        rata untuk 3 (tiga) sapi dara FH dengan bobot
pemberian air minum dingin dapat                    badan rata-rata 195 kg pada umur ± 18 bulan di
meningkatkan produksi susu sapi Holstein            Darmaga dapat dilihat pada Gambar 4.
sebesar 10,86% dari 22,1 pada air minum 28oC              Lama bernaung sapi dipengaruhi oleh
menjadi 24,5 kg pada air minum 10oC. Wilks et       suhu udara, kelembaban, radiasi, dan kecepatan
al. (1990) juga melaporkan terjadinya kenaikan      angin. Semakin tinggi suhu udara lingkungan,
produksi susu sapi Holstein sebesar 4,85% dari      sapi akan bernaung lebih lama sebagai upaya
24,7 pada air minum 27oC menjadi 25,9 pada          untuk mempertahankan panas tubuhnya agar
air minum 10,6oC. Qisthon (1999) melaporkan         tidak naik akibat cekaman panas dari suhu
bahwa pemberian air minum pada suhu 10oC            lingkungan. Semakin tinggi kelembaban udara
dapat memperbaiki produktivitas sapi dara FH        dan radiasi matahari di sekitar sapi maka sapi
melalui pertambahan bobot badan dan efisiensi       akan bernaung lebih lama dengan intensitas
pakan, meningkatkan kecernaan bahan kering          yang semakin rendah. Semakin tinggi kecepatan
dan bahan organik pakan dibandingkan dengan         angin maka sapi FH akan mengurangi intensitas
pemberian air minum pada suhu 16, 22 dan 28oC.      lama bernaungnya karena angin dapat
                                                    mereduksi panas tubuh sapi FH.
                      Naungan
                                                          Pemilihan Bahan Atap Kandang
        Pemberian naungan seperti kandang, dapat
mengurangi cekaman panas tubuh sapi FH                    Semua bahan akan memantulkan,
terutama pada siang hari. Total pengurangan         meneruskan dan menyerap radiasi gelombang
        Tabel 6. Pengaruh pendinginan air minum pada respons fisiologis sapi dara Holstein pada suhu
                  lingkungan 34oC
                                                               Suhu air minum (oC)
         Peubah
                                                        10               20              30
         Suhu rektal (oC)                              38,7             38,9            39,2
         Suhu kulit (oC)                               36,3             36,8            37,1
         Suhu tubuh (oC)                               38,4             38,7            38,9
         Frekuensi pernafasan (kali/menit)             26,0             40,0            47,0
         Frekuensi denyut jantung (kali/menit)         74,0             76,0            78,0
         Sumber : Purwanto et al. (1996)
                                                                                                      43
                                                                                     Edisi April 2006
YANI & PURWANTO                                                                     Media Peternakan
                                                 tubuh, suhu rektal, suhu kulit, denyut jantung
pendek dan gelombang panjang dengan proporsi
                                                 dan frekuensi nafas yang lebih rendah pada sapi
yang berbeda-beda tergantung pada jenis
                                                 FH yang diberi atap rumbia dibandingkan
bahannya. Perbedaan ini disebabkan oleh
                                                 dengan yang diberi atap seng atau genteng
perbedaan suhu absolute bahan, sifat fisik dan
                                                 (Soemarto, 1995).
kimiawi bahan serta daya hantar energi panas
(bahang) dan panjang gelombang radiasi
                                                        Penentuan Ketinggian Kandang
matahari. Oleh karena itu bahan atap kandang
sapi FH yang dipilih adalah bahan-bahan yang
                                                       Selain memilih bahan atap yang
mampu memantulkan dan menyerap radiasi
                                                 berkonduktivitas rendah, usaha lain yang
sehingga dapat mengurangi penghantaran panas
                                                 ditempuh untuk modifikasi lingkungan mikro
ke dalam kandang.
                                                 di dalam kandang adalah dengan memperbesar
      Radiasi matahari yang diabsorbsi oleh
                                                 ukuran kandang. Salah satunya adalah dengan
bahan akan diubah menjadi bahang, kemudian
                                                 meninggikan atap kandang, sehingga volume
dihantar ke bagian yang lebih dingin atau
                                                 udara dan aliran udara yang masuk ke dalam
dipancarkan kembali sebagai radiasi gelombang
                                                 kandang menjadi lebih besar dan pergantian
panjang. Kemampuan menghantar bahang
                                                 udara lebih cepat sehingga suhu dalam kandang
(konduktivitas) masing-masing bahan dari yang
                                                 menurun (Carpenter, 1981).
terendah sampai yang tinggi berturut-turut
                                                       Daerah-daerah yang cerah dengan sinar
adalah asbes, beton, baja, seng, alumunium
                                                 matahari penuh, tinggi atap kandang sebaiknya
(Charles, 1981). Bahan yang tipis seperti
                                                 antara 3,6 – 4,2 m, sedangkan daerah agak
kebanyakan logam memiliki koefisien konduksi
                                                 berawan tinggi atap kandang antara 2,1 – 2,7
yang besar, sehingga suhu di atas dan di bawah
                                                 m. Ketinggian kandang tersebut cukup efektif
hampir sama. Hahn (1985) menyatakan bahwa
                                                 membatasi difusi radiasi matahari yang diterima
bahan atap rumput kering atau jerami paling
                                                 ternak di dalam kandang (Hahn, 1985).
efektif menahan radiasi matahari yang terpancar
                                                 Ketinggian atap kandang untuk daerah tropis
langsung, sedangkan bahan padat seperti asbes,
                                                 basah berkisar antara 2 – 3 m dan untuk daerah
besi berlapis seng atau alumunium kurang         beriklim panas kering antara 4–5 m (McDowell,
efektif kecuali kalau dicat putih. Bahan lainnya 1972), serta antara 3 – 4 m untuk daerah semi
yang efektif menahan radiasi matahari adalah     arid (Wiersma et al., 1984). Ketinggian atap
alang-alang dan daun kelapa. Kedua bahan ini     kandang sapi FH untuk daerah panas dengan
memiliki nilai konduktivitas rendah. Rumbia      curah hujan sedang sampai curah hujan tinggi
memiliki nilai konduktivitas 0.0001 kal/detoC.   adalah 175 cm yang diukur dari sisi atap
      Rendahnya nilai konduktivitas bahan atap   terendah ke lantai kandang (Sastry & Thomas
kandang menunjukkan rendahnya kemampuan          1980).
bahan dalam menghantarkan radiasi panas yang           Perbedaan ketinggian atap kandang sangat
diserapnya, sehingga sangat baik untuk           mempengaruhi respons fisiologis sapi perah dan
mengurangi jumlah radiasi yang sampai ke         produksi susu yang dihasilkan. Respons
ternak. Gatenby & Martawijaya (1986)             fisiologis yang berubah antara lain suhu kulit,
menyatakan, suhu di dalam kandang yang           suhu rektal, suhu tubuh, frekuensi pernafasan
atapnya terbuat dari asbes, seng dan rumbia      dan denyut jantung. Sedangkan respons
berturut-turut 26,5; 27,0 dan 26,4oC.            produksi yang berubah yaitu konsumsi makan
      Respon fisiologis sapi perah FH sangat     dan minum, serta pertambahan bobot badan
baik terhadap bahan atap kandang rumbia          (Santoso, 1996). Ketinggian atap kandang yang
dibandingkan dengan genteng dan seng.            terbuat dari seng sebaiknya 3,5 m dari lantai
Respons fisiologis ini dapat dilihat dari suhu   kandang (Basyarah, 1995).
44 Edisi April 2006
Vol. 29 No. 1                                                                         PENGARUH IKLIM MIKRO
                                                       Berman, A. 2005. Estimates of heat stress relief needs
                      PENUTUP
                                                             for Holstein dairy cows. J.Anim Sci. Vol 83 :
                                                             1377 – 1384. http://jas.fass.org/cgi/content/
        Penampilan produksi ternak dipengaruhi               abstract/83/6/1377. [24 Oktober 2005]
oleh beberapa faktor, antara lain faktor               Blaxter, K. 1989. Energy Metabolism in Animal and
keturunan (genetic), pakan, pengelolaan,                     Man. Cambridge Univ. Press., New York.
                                                       Carpenter, G. A. 1981. Ventilation System. In:
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan
                                                             Environmental Aspect of Housing for Animal
penyakit serta faktor lingkungan. Faktor
                                                             Production. J.A. Clark (Ed). Butterwoths,
lingkungan yang cukup dominan dalam
                                                             London.p.331-350.
mempengaruhi produktivitas ternak adalah               Charles, D.R. 1981. Practical Ventilation and
iklim terutama iklim mikro yaitu suhu,                       Temperature Control for Poultry. In: J.A. Clark
kelembaban udara, radiasi dan kecepatan angin.               (Ed). Environmental Aspects of Housing for
                                                             Animal Production. Butterworths, London. P.
Sapi perah FH sebagai sapi yang berasal dari
                                                             163 – 196.
iklim sedang memerlukan suhu yang optimum
                                                       Chestnut, A. & D. Houston. 2002. Heat Stress and
untuk mencapai produksi maksimalnya.                         Cooling Cows. http://www.vigortone.com/
Jika sapi FH tersebut dipelihara di daerah tropis            heat_stress.htm [ 21 Oktober 2005 ].
seperti Darmaga Bogor, maka diperlukan                 Combs, D. 1996. Drinking water requirement for heat
                                                             stressed dairy cattle. Univ. of Wisconsin Dairy
modifikasi lingkungan mikro yang baik untuk
                                                             Profit Report Vol 8. No.3 http://www.wise.edu/
dapat mereduksi cekaman panas agar
                                                             dairy-profit/dpr/dpr83.pdf.          [21 Oktober
produktivitasnya tetap tinggi.
                                                             2005].
        Modifikasi lingkungan mikro dapat              Curtis, S.E. 1983. Environmental Management In
dilakukan dengan pemberian naungan dalam                     Animal Agricultural. The Iowa State University
bentuk atap kandang dengan ketinggian yang                   Press., Ames, Iowa.
                                                       Ensminger, M.E. 1971. Dairy Cattle Science. The
tepat, pemberian shelter di sekitar bangunan
                                                             Interstate Printers and Publisher. Inc. Danville,
ternak, pemberian air minum dingin, pemberian
                                                             Illinois.
kecepatan angin dengan pemasangan kipas,               Esmay, M. L. 1982. Principle of Animal
pengabutan melalui sprinkler di dalam kandang,               environmental. AVI Publishing Company, Inc.
pemberian isulator di bagian atap kandang.                   Wesport, Connecticut.
                                                       Gatenby, R.M. & M. Martawidjaja. 1986.
Modifikasi lingkungan mikro di atas
                                                             Comparison of the Thermal Budgets of Five
memerlukan biaya yang tidak murah sehingga
                                                             Different Roof of Animal House. Applied
memerlukan alternatif modifikasi lingkungan                  Agric. Res. Project and Res. Institut for Animal
dengan cara penggunaan bahan kandang (atap,                  Production, Bogor, Indonesia.
dinding, tiang) dan teknologi yang lebih murah.        Hadi, J.S. 1995. Pengaruh Kecepatan Angin terhadap
                                                             Respons Termoregulasi Sapi Fries Holland
                                                             Dara. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
               DAFTAR PUSTAKA
                                                       Hahn, G.L. 1985. Management and Housing of Farm
                                                             Animal in Hot Environment. In : Stress
Anderson, B. E. 1983. Temperature Regulation and             Physiology of Livestock. Vol. 1. M.K. Yousef
        Environmental Physiology. In: Dukes’                 (Ed). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.
        Physiology of Domestic Animal. 10th ed. M.           159-168.
        J. Swenson (Ed). Cornell Univ. Press. P. 719-  Ingram, D.L. & M.J. Dauncey. 1985.
        726.                                                 Thermoregulatory Behavior. In: Stress
Basyarah, W. 1995. Pengaruh Ketinggian Naungan               Physiology of Livestock. Vol. 1. Yousef (Ed),.
        dari Bahan Seng terhadap Respons                     CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. P.98-107.
        Termoregulasi Sapi Fries Holland Dara.         Jones, G.M. & C.C. Stallings. 1999. Reducing heat
        Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.            stress for dairy cattle. Virginia Cooperative
Beede, D.K. &. R.J. Coolier. 1986. Potential                 Extension. Publication Number 404-200. http:/
        nutricions for intensive managed cattle during       /www.ext.vt.edu/index.html. [21 Oktober
        thermal stress. J. Anim Sci. 62: 543.                2005].
                                                                                                            45
                                                                                           Edisi April 2006
YANI & PURWANTO                                                                               Media Peternakan
                                                        Shibata, M. 1996. Factors affecting thermal balance
Kibler, H.H. 1962. Energy metabolism and related
                                                             and production of ruminants in a hot
      thermoregulatory reactions to thermal stress
                                                             environment. A Review. Mem.Nat.Inst. Anim.
      in 10OC and 27OC acclimated heifers. Res.
                                                             Ind. No. 10 National Institute of Animal
      Bull.739. Univ.of Missouri, Columbia. P.1-32.
                                                             Industri Tsukuba, Japan.
Lee, C.N. & N. Keala. 2005. Evaluation of cooling
                                                        Smith, J.F., D.V. Armstrong, M.J. Brouk,
      system to improve lactating Holstein cows
                                                             Wuthironarith & J.P. Harner. 2005. Impact
      comfort in the sub-tropics. http://
                                                             of using feedline soakers in combinations with
      www.fass.org. [1 Maret 2006].
                                                             tunnel ventilation and evaporative pads to
McDowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock
                                                             minimize heat stress in lactation dairy cows
      Production in Warm Climate. W.H. Freeman
                                                             located in Thailand. http://www.fass.org. [1
      and Co., San Frascisco.p.1-128.
                                                             Maret 2006].
McDowell, R.E. 1974. The Environment Versus
                                                        Soemarto, F. 1995. Pengaruh Berbagai Ketinggian
      Man and His Animals. In: H.H. Cole & M.
                                                             Bahan Atap Kandang terhadap Respons
      Ronning (Eds.). Animal Agriculture. W.H.
                                                             Termoregulasi Sapi Dara Peranakan Fries
      Freeman and Co., San Fransisco.
                                                             Holland. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB,
Milam, K.Z., C.E.Coppock, J.W.West, J.K.
                                                             Bogor.
      Lanham, D.H. Nave, J.M. Labore, R.A.
                                                        Suwito, E. 2000. Hubungan antara Lingkungan
      Stermer & C.F.Brasington. 1986. Effect of
                                                             Mikro dengan Lama Bernaung dalam Kandang
      drinking water temperature on production
                                                             pada Sapi Dara Peranakan Fries Holland.
      responses in lactacing cows in summer. J.Dairy
                                                             Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.
      Sci. 69:1012 -1019.
                                                        Thwaites, C.J. 1985. Physiological Responses and
Prayitno, H. 1999. Respons Termoregulasi Sapi
                                                             Productivity in Sheep. In : M.K. Yousef (Ed.).
      Peranakan Fries Holland pada Berbagai
                                                             Stress Physiology in Livestock Vol. II:
      Kondisi Lingkungan Mikro. Skripsi. Fakultas
                                                             Ungulates. CRC Press Inc. Boca Raton,
      Peternakan, IPB, Bogor.
                                                             Florida.
Purwanto, B.P. 1993. Heat and Energy Balance in
                                                        Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,
      Dairy Cattle Under High Environmental                  S. Prawirakusumo & S. Lebdosoekotjo.
      Temperatute. Doctoral Thesis, Hiroshima                1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah
      University.                                            Mada University Press. Fakultas Peternakan,
Purwanto, B.P., M. Harada & S. Yamamoto. 1996.               Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
      Effect of drinking water temperature on heat      Trewartha, G.T. 1954. An Introduction to Climate.
      balance and thermoregulatory responses in              Mc Graw-Hill. Book Co Inc., New York.
      dairy heifers. Aust. J. Agric. Res. 47:505-12.    Wierema, F. In: Chestnut, A. & D. Houston. 2002.
Qisthon, A. 1999. Respons Fisiologis dan                     Heat Stress and Cooling Cows. http://
      Produktivitas Sapi Dara Pernakan Fries                 www.vigortone.com/heat_stress.htm [21
      Holland pada Pemberian Air Minum dengan                Oktober 2005].
      Suhu yang Berbeda. Thesis. Program                Wiersma, F., D.V. Armstrong, W.T. Welchert &
      Pascasarjana, IPB, Bogor.                              D.G. Lough. 1984. Housing system for dairy
Rizki.1996. Pengukuran Beban Panas Akibat Radiasi            production under warm weather condition.
      Matahari pada Sapi Perah Holstein Dara.                World Animal Review, 50:16-23.
      Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.         Wilks, D.L., C.E. Coppock, J.K. Lanham,
Roman-Ponce, H., W.H. Thatcher, D.E.                         K.N.Brooks, C.C. Baker, W. L. Bryson, R.G.
      Buffington, C.J. Wilcox & H.H. Van Horn.               Elmpre & R.A. Stermer. 1990. Responses of
      1977. Physiological and production responses           lactacing Holstein cows to chilled drinking
      of dairy cattle to shade structure in subtropical      water in high ambient temperatures. J.Dairy
      environmental. J. Dairy Sci. 60: 424-430.              Sci. 73:1091 -1099.
Santoso, A.B. 1996. Pengaruh Lingkungan Mikro           Yeates, N.T.M. 1977. The coat and heat retention in
      terhadap Respons Fisioologi Sapi Dara                  cattle: Studies in the tropical maritime climate
      Peranakan Fries Holland. Thesis. Program               of Fiji. J. Agric Sci. (Camb). 88:223-226.
      Pascasarjana, IPB, Bogor.                         Yousef, M.K. 1985. Thermoneutral Zone. In: M.K.
Sastry, N.S.R. & C.K.Thomas. 1980. Farm Animal               Yousef (Ed.). Stress Physiology of Livestock.
      Management. Vikas Publishing House PVT,                Vol.II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
      LTD., New Delhi.                                       P.68-69.
46  Edisi April 2006
journal.ipb.ac.id/index.php/mediapeternakan/article/download/905/238 - Cached - Similar
 tanggal 23 februari 2012